Toko Alat Sablon

Sjafruddin, Menteri yang Sobek Kain Kasur Untuk Gurita Bayinya

Pada masa perjuangan, banyak menteri yang tidak pernah memikirkan kekayaan diri sendiri. Bagi mereka, negara dan bangsa harus diutamakan. Kesejahteraan rakyatlah yang menjadi nomor satu.


Itu pula yang menjadi pedoman Mr. Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara (lahir di Serang, Banten, 28 Februari 1911 - meninggal di Jakarta, 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun) adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, sosok yang pernah menjadi menteri keuangan pada masa perjuangan. Sjafruddin Prawiranegara pernah menjadi anggota BP KNIP, cikal bakal DPR/MPR.

Syafrudin Prawiranegara juga pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Keuangan, dan Menteri Kemakmuran. Dialah Menteri Keuangan yang pertama, dijabat pada 1946, sedangkan menteri kemakmuran dijabat pada tahun 1947. Pada saat menjabat sebagai menteri kemakmuran inilah terjadi Agresi Militer II dan menyebabkan terbentuknya PDRI (Pemerintah Darurat RI).

Oleh Soekarno dan Hatta, Syafruddin ditugaskan membentuk PDRI. Ketika Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap pada Agresi Militer II, kemudian diasingkan oleh Belanda ke Pulau Bangka, 1948, Syafruddin menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI pada 1948. 
 
Gunting Sjafruddin
Pada masa menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, Syafruddin Prawiranegara menetapkan kebijakan moneter yang dikenal dengan nama Gunting Sjafrudin. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.

Menurut kebijakan itu, "uang merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00.
 
Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi.
 
Guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar empat puluh tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. "Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang Republik Indonesia).

Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk--utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu, Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar.
 
Sederhana 
Cerita kesederhanaan Sjafruddin muncul saat menjabat sebagai menkeu. Keadaan keuangan negara sedang sulit sehingga para pegawai negeri sipil maupun militer tidak digaji sebagaimana mestinya.

Seperti dikutip dari biografi Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT karangan Ajip Rosidi terbitan Pustaka Jaya, keluarga Sjafruddin pun ikut merasakan hidup susah meskipun menjabat sebagai menteri. Untuk mencukupi kebutuhan sehari hari, Sjafruddin harus menjual barang-barang yang dimiliki. Padahal yang mereka miliki hanya beberapa kopor pakaian karena harta benda lain ditinggal di rumah sewaan di Bandung.

Rumah itu dititipkan kepada seseorang yang kemudian menggelapkannya. Waktu anak ketiga lahir, yaitu Chalid, keadaan keluarga begitu buruk sehingga untuk membuat gurita buat bayi, mereka terpaksa menyobek kain sprei kasur karena kain biasa tak ada lagi.

Saat pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, keluarga Sjafruddin ikut boyongan. Di Yogya, mereka berpindah-pindah tempat hingga akhirnya menempati rumah yang lebih besar di Jalan Taman Yuwono. Meskipun kedudukannya sebagai menteri keuangan, tetapi dibandingkan kehidupan kala menjadi kepala inspeksi pajak di Kediri, keadaannya jauh lebih sederhana.

Namun, hal itu tidak pernah mengurangi pengabdian Sjafruddin kepada bangsa dan negara. Tidak pernah ada dalam pikirannya untuk korupsi. Terlintas pun tidak. 
 
Pada masa Orde Baru, Sjafruddin pernah memberi saran agar pegawai negeri mendapat nafkah yang cukup untuk menghindari suap dan korupsi. Namun dia dianggap sebagai musuh politik yang sarannya tak perlu didengar. Orde Baru pun kemudian menjadi kubangan raksasa praktik korupsi yang masih terus tampak hingga sekarang, Orde Reformasi. 
 
Pada masa tuanya, Syafrudin Prawiranegara memilih lapangan dakwah sebagai kesibukannya. Namun berkali-kali dilarang naik mimbar, pada bulan Juni 1985, ia diperiksa sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A'raf, Tanjung Priok, Jakarta. Beliau aktif dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan, keislaman, dan dalam dakwah aktivitas keagamaannya, ia pernah menjabat sebagai Ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI)

Ia juga sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia. Syafruddin Prawiranegara meninggal di Jakarta, pada tanggal 15 Februari 1989, pada umur 77 tahun.

"Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah".
source i - ii - iii

0 Response to "Sjafruddin, Menteri yang Sobek Kain Kasur Untuk Gurita Bayinya"