1. Mesjid Agung Al-Karomah
Masjid Agung Al Karomah adalah masjid besar yang terletak
di Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan dan merupakan
salah satu masjid terbesar di Kalimantan Selatan. Masjid ini juga merupakan markah
tanah dari Kota Martapura karena mudah diakses dari seluruh kota di
Kalimantan Selatan karena terletak di Jl. Ahmad Yani yang merupakan
jalan utama (jalan nasional) antar kota, terutama dari Kalsel ke Kaltim.
Sebagai pusat Kerajaan Banjar, Martapura tercatat menjadi saksi 12 sultan yang memerintah. Pada waktu itu Mesjid berfungsi sebagai tempat peribadatan, dakwah Islamiyah, integrasi umat Islam dan markas atau benteng pertahanan para pejuang dalam menantang Belanda. Akibat pembakaran Kampung Pasayangan dan Masjid Martapura, muncul keinginan membangun Masjid yang lebih besar. Tahun 1280 Hijriyah atau 1863 Masehi, pembangunan masjid pun dimulai.
Masjid Agung Al
Karomah, dulu namanya adalah Masjid Jami’ Martapura, yang didirikan
oleh panitia pembangunan masjid yaitu HM. Nasir, HM. Taher (Datu Kaya),
HM. Apip (Datu Landak). Kepanitiaan ini didukung oleh Raden Tumenggung
Kesuma Yuda dan Mufti HM Noor.
Menurut riwayatnya, Datuk Landak dipercaya untuk mencari kayu Ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito, Kalimantan Tengah. Setelah tiang ulin berada di lokasi bangunan Masjid lalu disepakati.
Tepat 10 Rajab 1315 H (5 Desember 1897 M) dimulailah pembangunan masjid jami’ tersebut. Secara teknis bangunan masjid tersebut adalah bangunan dengan struktur utama dari kayu ulin dengan atap sirap, dinding dan lantai papan kayu ulin. Seiring dengan perubahan masa dari waktu ke waktu masjid tersebut selalu di renovasi, tapi struktur utama tidak berubah.
Malam Senin 12 Rabiul Awal 1415 H dalam perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, Masjid Jami’ Martapura diresmikan menjadi Masjid Agung Al Karomah. Saat ini Masjid Agung Al Karomah berdiri megah dengan konstruksi beton dan rangka atapnya terbuat dari baja stainless, yang terangkai dalam struktur space frame. Untuk kubahnya dilapisi dengan bahan enamel.
Di dalam masjid, sampai saat ini masih dapat ditemukan dan dilihat struktur utama Masjid Jami Martapura yang tidak dibongkar, sehingga dapat dilihat sebagai bukti sejarah mulai berdirinya masjid tersebut.
Menurut riwayatnya, Datuk Landak dipercaya untuk mencari kayu Ulin sebagai sokoguru masjid, ke daerah Barito, Kalimantan Tengah. Setelah tiang ulin berada di lokasi bangunan Masjid lalu disepakati.
Tepat 10 Rajab 1315 H (5 Desember 1897 M) dimulailah pembangunan masjid jami’ tersebut. Secara teknis bangunan masjid tersebut adalah bangunan dengan struktur utama dari kayu ulin dengan atap sirap, dinding dan lantai papan kayu ulin. Seiring dengan perubahan masa dari waktu ke waktu masjid tersebut selalu di renovasi, tapi struktur utama tidak berubah.
Malam Senin 12 Rabiul Awal 1415 H dalam perayaan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW, Masjid Jami’ Martapura diresmikan menjadi Masjid Agung Al Karomah. Saat ini Masjid Agung Al Karomah berdiri megah dengan konstruksi beton dan rangka atapnya terbuat dari baja stainless, yang terangkai dalam struktur space frame. Untuk kubahnya dilapisi dengan bahan enamel.
Di dalam masjid, sampai saat ini masih dapat ditemukan dan dilihat struktur utama Masjid Jami Martapura yang tidak dibongkar, sehingga dapat dilihat sebagai bukti sejarah mulai berdirinya masjid tersebut.
Aristektur
Dilihat dari segi arsitekturnya, bentuk Masjid Agung Al Karomah Martapura mengikuti Masjid Demak Buatan Sunan Kalijaga. Miniaturnya dibawa utusan Desa Dalam Pagar dan ukurannya sangat rapi serta mudah disesuaikan dengan bangunan sebenarnya sebab telah memakai skala.
Sampai saat ini bentuk bangunan Masjid menurut K.H. Halilul Rahman, Sekretaris Umum di kepengurusan Masjid sudah tiga kali rehab. Dengan mengikuti bentuk bangunan modern dan Eropa, sekarang Masjid Agung Al Karomah Martapura terlihat lebih megah.
Meski bergaya modern, empat tiang Ulin yang menjadi Saka Guru peninggalan bangunan pertama Masjid masih tegak di tengah. Tiang ini dikelilingi puluhan tiang beton yang menyebar di dalam Masjid.
Arsitektur Masjid Agung Al Karomah Martapura yang menelan biaya Rp27 miliar pada rehab terakhir sekitar tahun 2004, banyak mengadopsi bentuk Timur Tengah. Seperti atap kubah bawang dan ornamen gaya Belanda. Semula atap Masjid berbentuk kerucut dengan konstruksi beratap tumpang, bergaya Masjid tradisional Banjar. Setelah beberapa kali rehab akhirnya berubah menjadi bentuk kubah.
Bila arsitektur bangunan banyak berubah, namun mimbar tempat khatib berkhutbah yang berumur lebih satu abad sampai sekarang berfungsi. Mimbar berukiran untaian kembang dan berbentuk panggung dilengkapi tangga sampai sekarang masih berfungsi dan diarsiteki H.M Musyafa.
Pola ruang pada Masjid Agung Al Karomah juga mengadopsi pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Karena mengalami perluasan arsitektur Masjid Agung Demak hanya tersisa dari empat tiang ulin atau disebut juga tiang guru empat dari bangunan lama.
Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella atau ruang keramat. Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab. Sejarahnya tiang guru empat menggunakan tali alias seradang yang ditarik beramai-ramai oleh Datuk Landak bersama masyarakat. Atas izin Allah SWT tiang Guru Empat didirikan. Masjid pertama kali dibangun berukuran 37,5 meter x 37,5 meter.
2. Masjid Ba'angkat
Masjid Su’ada atau lebih dikenal dengan nama Masjid
Ba'angkat didirikan oleh Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh
H.M. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin pada tanggal 28 Zulhijjah
1328 Hijriyah bersamaan dengan tahun 1908 Masehi yang terletak di desa
Wasah Hilir, Simpur, Hulu Sungai Selatan yang jaraknya ± 7 km dari kota
Kandangan, ibukota kabupaten Hulu Sungai Selatan. Masjid ini didirikan
di atas tanah wakaf milik Mirun bin Udin dan Asmail bin Abdullah seluas
1.047,25 m².
Aristektur
Bentuk bangunan induk masjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:
Aristektur
Bentuk bangunan induk masjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:
- Tingkat pertama mengandung makna Syariat
- Tingkat kedua mengandung makna Thariqat
- Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat
- Loteng mengandung makna Ma’rifat
Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sedang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifat.
- Loteng mengandung makna Ma’rifat
Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sedang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifat.
3. Masjid Keramat Banua Halat
Masjid Al-Mukarromah atau yang lebih dikenal dengan nama
Masjid Keramat Banua Halat adalah masjid tua yang berada di desa Banua
Halat Kiri, Tapin Utara, Tapin, Kalsel. Masjid ini berjarak sekitar 120
km dari ibukota provinsi Kalimantan Selatan. Diceritakan bahwa ketika agama Islam masuk ke daerah ini, maka
terjadilah pemisahan antara penduduk yang menganut agama Islam dengan
penduduk yang masih menganut kepercayaan nenek moyang. Sejak itulah
kampung mereka disebut Banua Halat, artinya “kampung pembatas”, yaitu
pembatas antara penduduk yang menganut agama Islam dengan yang menganut
kepercayaan lama.
Sisa-sisa budaya dari kelompok ini, yang menunjukkan bahwa mereka pada mulanya merupakan kesatuan komunitas dapat ditelusuri dari peralatan upacara Baayun Maulid (lazim disebut Baayun Mulud) yang diselenggarakan di Masjid Banua Halat bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Rabiul Awal. Tradisi mengayun anak yang merupakan perpaduan unsur kepercayaan lama dengan Islam ini tidak hanya dijalani oleh bayi dan anak-anak, namun juga orang-orang tua.
Sejarah
Tidak diketahui pasti kapan masjid ini dibangun. Menurut sejarah, masjid yang dikeramatkan tersebut dibangun H. Syafrullah atau yang dikenal orang terdahulu sebagai Datu Ujung (dalam versi lain ada yang juga menyebutkan kalau masjid ini didirikan oleh Haji Mungani Salingnata pada tahun 1840). Datu Ujung ini memiliki kehebatan yang masih dikenal sampai sekarang, yaitu tiang miring. Tiang ini menjadi salah satu tiang utama di masjid tersebut.
Sebagai tokoh masyarakat yang dikenal, Datu Ujung bersama masyarakat membangun masjid keramat untuk tempat ibadah masyarakat sekitar. Saat pembangunan masjid tersebut tiang-tiang masjid dicari Datu Ujung ke Desa Batung, Kecamatan Piani. Menurut sejarah pula, tiang-tiang itu hanya ditendang Datu Ujung dengan kesaktiannya hingga bisa dihanyutkan ke sungai dan sampai di depan Masjid Keramat yang berada di pinggiran Sungai Tapin.
Setelah masjid selesai, warga mengadakan selamatan. Saat selamatan itu ternyata ikan untuk di makan warga kurang, lalu Datu Ujung berpesan kepada warga untuk jangan makan dahulu sebelum ia datang karena Datu Ujung akan mengambil ikan di Negara, Hulu Sungai Selatan. Warga pun tidak percaya, mengingat jarak antara Banua Halat dengan Negara sangat jauh, mustahil kalau harus menunggu Datu Ujung kembali dalam waktu singkat. Walhasil warga pun makan duluan, saat itulah Datu Ujung muncul dengan membawa banyak ikan.
Melihat warga yang tidak mengindahkan pesannya tersebut, membuat Datu Ujung jadi marah hingga dia menghentakkan kakinya ke tanah hingga menimbulkan bekas tanah yang miring. Hingga sekarang, bekas pijakan tanah tersebut yang berada di di bagian pojok kanan masjid masih membekas.
Di salah satu tiang masjid, terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan minyak. Tidak diketahui pasti kapan minyak itu keluar dan sebabnya.
Masjid ini pernah dibakar oleh Belanda. Pada saat terbakar, hampir seluruh material bangunan masjid yang berada di tepian sungai itu ludes. Yang tersisa hanya satu tiang utama yang kini terus mengeluarkan minyak itu. Kemudian, pada tahun 1862 Masjid Al-Mukarromah dibangun kembali.
Sisa-sisa budaya dari kelompok ini, yang menunjukkan bahwa mereka pada mulanya merupakan kesatuan komunitas dapat ditelusuri dari peralatan upacara Baayun Maulid (lazim disebut Baayun Mulud) yang diselenggarakan di Masjid Banua Halat bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Rabiul Awal. Tradisi mengayun anak yang merupakan perpaduan unsur kepercayaan lama dengan Islam ini tidak hanya dijalani oleh bayi dan anak-anak, namun juga orang-orang tua.
Sejarah
Tidak diketahui pasti kapan masjid ini dibangun. Menurut sejarah, masjid yang dikeramatkan tersebut dibangun H. Syafrullah atau yang dikenal orang terdahulu sebagai Datu Ujung (dalam versi lain ada yang juga menyebutkan kalau masjid ini didirikan oleh Haji Mungani Salingnata pada tahun 1840). Datu Ujung ini memiliki kehebatan yang masih dikenal sampai sekarang, yaitu tiang miring. Tiang ini menjadi salah satu tiang utama di masjid tersebut.
Sebagai tokoh masyarakat yang dikenal, Datu Ujung bersama masyarakat membangun masjid keramat untuk tempat ibadah masyarakat sekitar. Saat pembangunan masjid tersebut tiang-tiang masjid dicari Datu Ujung ke Desa Batung, Kecamatan Piani. Menurut sejarah pula, tiang-tiang itu hanya ditendang Datu Ujung dengan kesaktiannya hingga bisa dihanyutkan ke sungai dan sampai di depan Masjid Keramat yang berada di pinggiran Sungai Tapin.
Setelah masjid selesai, warga mengadakan selamatan. Saat selamatan itu ternyata ikan untuk di makan warga kurang, lalu Datu Ujung berpesan kepada warga untuk jangan makan dahulu sebelum ia datang karena Datu Ujung akan mengambil ikan di Negara, Hulu Sungai Selatan. Warga pun tidak percaya, mengingat jarak antara Banua Halat dengan Negara sangat jauh, mustahil kalau harus menunggu Datu Ujung kembali dalam waktu singkat. Walhasil warga pun makan duluan, saat itulah Datu Ujung muncul dengan membawa banyak ikan.
Melihat warga yang tidak mengindahkan pesannya tersebut, membuat Datu Ujung jadi marah hingga dia menghentakkan kakinya ke tanah hingga menimbulkan bekas tanah yang miring. Hingga sekarang, bekas pijakan tanah tersebut yang berada di di bagian pojok kanan masjid masih membekas.
Di salah satu tiang masjid, terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan minyak. Tidak diketahui pasti kapan minyak itu keluar dan sebabnya.
Masjid ini pernah dibakar oleh Belanda. Pada saat terbakar, hampir seluruh material bangunan masjid yang berada di tepian sungai itu ludes. Yang tersisa hanya satu tiang utama yang kini terus mengeluarkan minyak itu. Kemudian, pada tahun 1862 Masjid Al-Mukarromah dibangun kembali.
4. Masjid Pusaka Banua Lawas
Masjid Pusaka Banua Lawas adalah sebuah masjid tua yang
terletak di kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong, Kalimantan
Selatan. Masjid ini juga sering disebut Masjid Pusaka Pasar Arba karena
pada hari rabu (arba), jumlah para pengunjung/peziarah lebih banyak dari
hari-hari yang lain.
Di masjid tertua di Kabupaten Tabalong yang "dikeramatkan" itu, selain menjadi tempat ibadah, juga menjadi tonggak atau bukti sejarah diterimanya Islam bagi suku Dayak di Tabalong.
Masjid ini ramai dikunjungi atau diziarahi umat Islam, termasuk dari Kaltim. Di Masjid Pusaka ini, selain masih tersimpan beduk asli dan petaka sepanjang 110 cm. Keberadaannya sejak masjid dibangun tahun 1625 masehi yang diprakarsai Khatib Dayan dan saudaranya Sultan Abdurrahman (dari Kesultanan Banjar yang berpusat di Kuin). Khatib Dayan dibantu tokoh-tokoh masyarakat Dayak, juga Datu Ranggana, Datu Kartamina, Datu Saripanji, Langlang Buana, Taruntung Manau, Timba Sagara, Layar Sampit, Pambalah Batung dan Garuntung Waluh.
Peninggalan
Di teras depan Masjid Pusaka, ada dua tajau (guci tempat penampungan air yang dulunya digunakan suku Dayak untuk memandikan anak yang baru lahir). Kendati diterpa atau disengat matahari, namun dua tajau yang usianya mencapai 400 tahun itu tak berubah warnanya.
Di samping masjid terdapat pekuburan warga setempat sejak dahulu dan salah satu yang mencolok adalah bangunan (kubah) yang merupakan makam pejuang Banjar bernama Penghulu Rasyid.
Di masjid tertua di Kabupaten Tabalong yang "dikeramatkan" itu, selain menjadi tempat ibadah, juga menjadi tonggak atau bukti sejarah diterimanya Islam bagi suku Dayak di Tabalong.
Masjid ini ramai dikunjungi atau diziarahi umat Islam, termasuk dari Kaltim. Di Masjid Pusaka ini, selain masih tersimpan beduk asli dan petaka sepanjang 110 cm. Keberadaannya sejak masjid dibangun tahun 1625 masehi yang diprakarsai Khatib Dayan dan saudaranya Sultan Abdurrahman (dari Kesultanan Banjar yang berpusat di Kuin). Khatib Dayan dibantu tokoh-tokoh masyarakat Dayak, juga Datu Ranggana, Datu Kartamina, Datu Saripanji, Langlang Buana, Taruntung Manau, Timba Sagara, Layar Sampit, Pambalah Batung dan Garuntung Waluh.
Peninggalan
Di teras depan Masjid Pusaka, ada dua tajau (guci tempat penampungan air yang dulunya digunakan suku Dayak untuk memandikan anak yang baru lahir). Kendati diterpa atau disengat matahari, namun dua tajau yang usianya mencapai 400 tahun itu tak berubah warnanya.
Di samping masjid terdapat pekuburan warga setempat sejak dahulu dan salah satu yang mencolok adalah bangunan (kubah) yang merupakan makam pejuang Banjar bernama Penghulu Rasyid.
5. Masjid Sultan Suriansyah
Masjid Sultan Suriansyah atau Masjid Kuin adalah sebuah
masjid bersejarah yang merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan.
Masjid ini dibangun di masa pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550),
raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam.Masjid Kuin merupakan salah
satu dari tiga masjid tertua yang ada di kota Banjarmasin pada masa
Mufti Jamaluddin (Mufti Banjarmasin), masjid yang lainnya adalah Masjid
Besar (Masjid Jami) dan Masjid Basirih.
Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, Banjarmasin, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di seberangnya terdapat sungai kuin.
Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi : " Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia."
Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: "Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)" . Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanghgal 10 Sya'ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (renovasi masjid) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I (1734-1759).
Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi "Allah Muhammadarasulullah". Pada bagian kanan atas terdapat tulisan "Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17", sedang pada bagian kiri terdapat tulisan : "Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri".
Arsitektur
Bentuk arsitektur dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang, merupakan masjid bergaya tradisional Banjar. Masjid bergaya tradisional Banjar pada bagian mihrabnya memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan induk. Masjid ini didirikan di tepi sungai Kuin.
Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, Banjarmasin, kawasan yang dikenal sebagai Banjar Lama merupakan situs ibukota Kesultanan Banjar yang pertama kali. Masjid ini letaknya berdekatan dengan komplek makam Sultan Suriansyah dan di seberangnya terdapat sungai kuin.
Kekunoan masjid ini dapat dilihat pada 2 buah inskripsi yang tertulis pada bidang berbentuk segi delapan berukuran 50 cm x 50 cm yakni pada dua daun pintu Lawang Agung. Pada daun pintu sebelah kanan terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi : " Ba'da hijratun Nabi Shalallahu 'alahihi wassalam sunnah 1159 pada Tahun Wawu ngaran Sultan Tamjidillah Kerajaan dalam Negeri Banjar dalam tanah tinggalan Yang mulia."
Sedangkan pada daun pintu sebelah kiri terdapat 5 baris inskripsi Arab-Melayu berbunyi: "Kiai Damang Astungkara mendirikan wakaf Lawang Agung Masjid di Nagri Banjar Darussalam pada hari Isnain pada sapuluh hari bulan Sya'ban tatkala itu (tidak terbaca)" . Kedua inskripsi ini menunjukkan pada hari Senin tanghgal 10 Sya'ban 1159 telah berlangsung pembuatan Lawang Agung (renovasi masjid) oleh Kiai Demang Astungkara pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah I (1734-1759).
Pada mimbar yang terbuat dari kayu ulin terdapat pelengkung mimbar dengan kaligrafi berbunyi "Allah Muhammadarasulullah". Pada bagian kanan atas terdapat tulisan "Krono Legi : Hijrah 1296 bulan Rajab hari Selasa tanggal 17", sedang pada bagian kiri terdapat tulisan : "Allah subhanu wal hamdi al-Haj Muhammad Ali al-Najri".
Arsitektur
Bentuk arsitektur dengan konstruksi panggung dan beratap tumpang, merupakan masjid bergaya tradisional Banjar. Masjid bergaya tradisional Banjar pada bagian mihrabnya memiliki atap sendiri terpisah dengan bangunan induk. Masjid ini didirikan di tepi sungai Kuin.
Pola ruang pada Masjid Sultan Suriansyah merupakan pola ruang dari arsitektur Masjid Agung Demak yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Islam ke daerah ini oleh Khatib Dayan. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu. Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut.
Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi.
Ciri atap meru tampak pada Masjid Sultan Suriansyah yang memiliki atap bertingkat sebagai bangunan terpenting di daerah tersebut. Bentuk atap yang besar dan dominan, memberikan kesan ruang dibawahnya merupakan ruang suci (keramat) yang biasa disebut cella. Tiang guru adalah tiang-tiang yang melingkupi ruang cella (ruang keramat). Ruang cella yang dilingkupi tiang-tiang guru terdapat di depan ruang mihrab, yang berarti secara kosmologi cella lebih penting dari mihrab.
6. Masjid Jami Tuhfaturroghibin (Mesjid Kanas)
Masjid Jami' Tuhfaturroghibin atau lebih populer dengan nama Masjid Kanas adalah sebuah masjid bersejarah yang berlokasi di kawasan Alalak Tengah, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Masjid menjadi khas karena terdapat hiasan buah nenas. Lantaran berarsitektur Timur Tengah campur Banjar, sekilas masjid ini mirip Masjid Jami Sungai Jingah. Masjid ini menjadi simbol kebanggaan warga Alalak, warga yang dikenal asli Banjar.
Sejarah
Masjid ini dibangun pada 11 Muharram 1357 Hijriyah, sejarah salah satu masjid kuno ini tak lepas dari jasa seorang ulama Alalak, H. Marwan bin H.M. Amin. H. Marwan dikenal sebagai ulama sufi dan konon merupakan keturunan ke-4 Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau Datuk Kelampayan. Atas jasa H. Marwan, konon masjid yang hingga sekarang masih mempertahankan keaslian empat soko gurunya tersebut berdiri kokoh.
Awalnya, masjid ini tidak berlokasi di Alalak Tengah. Dulu, sebelum dibangun, Masjid Kanas sempat didirikan di Desa Tatah Masjid, Alalak, Barito Kuala. Dari sinilah nama Masjid Kanas diabadikan. Karena jumlah jamaah terus bertambah dan akses menuju kampung dianggap sulit, akhirnya seluruh tokoh dan masyarakat Alalak, kala itu, menyekapati memindahkan masjid dari desa Tatah Masjid ke Alalak Tengah.
Lokasi yang dipilih tepat di berada pertigaan arus sungai, arah Marabahan, Kapuas dan Muara Kuin (Barito). Di atas eks kuburan muslim dan waqaf, Masjid Kanas dibangun gotong royong. Diceritakan, saat pemancangan tiang utama masjid inilah yang membikin decak kagum warga Alalak. Pasalnya, kayu ulin yang begitu besar dan panjang bisa didirikan hanya dengan dua bilah bambu.
Untuk mendapatkan kayu ulin, panitia mencarinya di hutan pedalaman Kalimantan dan diangkut sampan. Karena letak masjid berada di daratan, maka untuk memudahkan pengangkutan, warga membuat sungai kerokan, sebagai landasan mengangkut kayu besar itu.
Alhasil, di Saka Dengen (sebutan warga untuk anak sungai) perbatasan RT 14 dan 15, Kelurahan Alalak Tengah, dibuat terusan menuju masjid. Dengan sungai kecil itu, kayu ulinnya bisa diangkat ke darat dan langsung didirikan.
Saat pendirian kayu ulin, hampir semalam suntuk H. Marwan melakukan "tawaf", berkeliling masjid. Dengan ritual khusus, dan dibantu alat takal dan bambu, ulin sebagai soko guru pun bisa didirikan tegak. Dan proses pembangunan masjid pun dimulai.
Sejak berdiri, Masjid Kanas sudah berganti 11 kaum (penjaga masjid) dan badan pengelola. Di saat masjid dikelola K.H. Jahri Simin dan Abdul Malik Marwan, rehabilitas dan renovasi terus digenjot. Dan, atas bantuan pengusaha Alalak yang sukses di Surabaya, bahan material bangunannya tak pernah putus.
Seriring itu, bagian bangunan banyak berubah. Meski begitu, mimbar berukir, tiang utama dan simbol Kanas tetap dipertahankan. Ini dilakukan agar kekhasan masjid tetap terjaga. Dan, perubahan nama Masjid Kanas menjadi Masjid Jami Tuhfaturroghibin adalah mengutip nama kitab karangan Datuk Kalampayan sekitar awal tahun 1980-an.
Arsitektur
Masjid Kanas terbilang unik. Kubahnya dibuat bulat dan terlihat berundak-undak. Tiang utama terbuat dari kayu ulin berdiameter 40 x 40 meter.
Bila ditilik dari sejarahnya peletakan Buah Kanas di puncak Masjid (songkol) belum ada. Pada masa itu dipuncaknya dipasang Bintang Bulan. Namun karena suatu hal (ditiup angin kencang), songkol masjid tersebut patah dan jatuh. Sehingga sebagai gantinya dipasanglah Tajau Belanga sumbangan dari H. Jumain yang dipasang terbalik. Setelah itu, ternyata dinilai tidak artistik, sehingga akhirnya disepakati dibuat daun Nenas yang terbuat dari seng tebal dan dipasang menyerupai daun Nanas (Buah Kanas).
Di masa pendudukan Jepang, Masjid Kanas konon termasuk tertua keempat, setelah Masjid Sultan Suriansyah, Masjid Agung Al-Karomah Martapura dan Masjid Jami Sei Jingah. Pada awalnya, kubah masjid tidak berbentuk bundaran. Bentuknya limas lancip (tahun 1934). Setelah diadakan perubahan desain pada tahun 1972, akhirnya bentuk Masjid Kanas diidentikkan dengan Masjid Jami Sungai Jingah. Hal tersebut dilakuan (perubahan terakhir) pada tahun 1980 hingga sekarang.
Nama "Tuhfaturroghibin" pun sebagai nama resmi masjid ini diambil dari judul sebuah buku karangan ulama besar Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, usulan dari KH. Muhammad Jahri Simin. Pemberian nama ini, dilakukan pada masa kepengurusan Guru H. Abdul Malik Marwan (Tahun 1980). Nama ini dipilih, setelah diberikan beberapa alternatif nama yang diusulkan. Penentuan dan pemilihan nama dilakukan secara musyawarah mufakat.
7. Masjid Jami Banjarmasin
Masjid Jami' Banjarmasin atau dikenal juga sebagai
Masjid Jami' Sungai Jingah adalah sebuah masjid bersejarah di kota
Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Mesjid berarsitektur joglo yang dibuat
dengan bahan dasar kayu besi (ulin) ini dibangun di tahun 1777. Walaupun
termasuk di lingkungan Kelurahan Antasan Kecil Timur, masjid yang
seluruh konstruksi bangunan didominasi kayu ulin ini
lebih identik dikenal Masjid Jami Sungai Jingah.
Lokasi awal pembangunan masjid ialah di tepi Sungai Martapura, setelah masjid ini dipindahkan sekarang berada di Jalan Masjid kelurahan Antasan Kecil Timur, Kota Banjarmasin pada tahun 1934.
Sejarah
Lokasi awal pembangunan masjid ialah di tepi Sungai Martapura, setelah masjid ini dipindahkan sekarang berada di Jalan Masjid kelurahan Antasan Kecil Timur, Kota Banjarmasin pada tahun 1934.
Sejarah
Konon ceritanya di
masa itu masyarakat Banjar kesulitan beribadah karena tidak ada mesjid
yang cukup besar untuk menampung orang banyak. Pemerintah kolonial
Belanda yang kehadirannya tidak disukai oleh masyarakat Banjar berusaha
menggunakan kesempatan itu untuk mengambil hati orang Banjar.
Mereka berniat menyumbangkan uang hasil pajak untuk pembangunan masjid. Kebetulan saat itu pendapatan pajak pemerintah Belanda dari hasil memeras rakyat Kalimantan sedang berlimpah, terutama dari hasil hutan seperti karet dan damar. Namun masyarakat Banjar menolak mentah-mentah tawaran itu. Bagi orang Banjar yang beragama Islam adalah haram hukumnya menerima pemberian dari penjajah Belanda, apalagi untuk pembangunan masjid.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut mereka secara swadaya dan bergotong- membangun tempat ibadah tersebut. Tua-muda, laki-laki dan perempuan secara bahu-membahu mengumpulkan dana. Ada yang menyumbangkan tanah, perhiasan emas atau hasil pertanian, sehingga tidak lama kemudian di atas tanah seluas 2 hektar berdirilah sebuah mesjid yang indah dan megah sebagai tempat beribadah dan kegiatan sosial lainnya hingga sekarang.
Mereka berniat menyumbangkan uang hasil pajak untuk pembangunan masjid. Kebetulan saat itu pendapatan pajak pemerintah Belanda dari hasil memeras rakyat Kalimantan sedang berlimpah, terutama dari hasil hutan seperti karet dan damar. Namun masyarakat Banjar menolak mentah-mentah tawaran itu. Bagi orang Banjar yang beragama Islam adalah haram hukumnya menerima pemberian dari penjajah Belanda, apalagi untuk pembangunan masjid.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut mereka secara swadaya dan bergotong- membangun tempat ibadah tersebut. Tua-muda, laki-laki dan perempuan secara bahu-membahu mengumpulkan dana. Ada yang menyumbangkan tanah, perhiasan emas atau hasil pertanian, sehingga tidak lama kemudian di atas tanah seluas 2 hektar berdirilah sebuah mesjid yang indah dan megah sebagai tempat beribadah dan kegiatan sosial lainnya hingga sekarang.
Terimakasih Infonya, ini sangat bermanfaat buat aku
BalasHapusnice blog* thx infonya :D lestarian budaya dan sejarah banjar
BalasHapus